Iris - goo goo dolls

Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info

Kamis, 28 Oktober 2010

Fūdo (風土)

”Who we are is not simply what we think, or what we choose as individuals
in our aloneness, but is also the result of the climatic space into
which we are born, live, love, and die” (Watsuji Tetsurō)



1. Fudo dan Watsuji Tetsurō (和辻 哲郎)
Watsuji Tetsurō (1 Maret 1889-26 Desember 1960) adalah seorang filsuf moral Jepang dan sejarawan dalam bidang budaya. Karya-karyanya mengenai etika Jepang masih dipergunakan sampai sekarang sebagai acuan dalam mempelajari budaya Jepang (http://plato.stanford.edu/entries/watsuji-tetsuro). Salah satu karyanya yang terkenal adalah Fūdo (風土) yang diterbitkan pada tahun 1935.
Pada tahun 1927, Watsuji pergi ke Jerman. Setelah 14 bulan berada di Eropa, Watsuji dipaksa kembali ke Jepang pada tahun 1928, karena ayahnya meninggal dunia. Watsuji sangat tertarik dengan pemikiran seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger. Namun Watsuji tidak setuju dengan teori Heidegger mengenai
keberadaan manusia.
Heidegger menekankan bahwa individualisme adalah hasil pemikiran Eropa yang sudah tertanam selama berabad-abad. Pemikiran ini bahkan dianggap sejalan dengan pemikiran Descartes yang terkenal, yaitu ”cogito, ergo sum” yang berarti ”aku berpikir, maka aku ada”.
Watsuji berpendapat bahwa Heidegger terlalu menekankan pengaruh individu, tanpa memikirkan sisi sosial dan geografis. Watsuji pun lalu menulis buku berjudul fudo yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi “iklim dan budaya”
(http://cambridgeforecast.wordpress.com/2008/01/09/climate-culture-watsuji-tetsuro/).
Bagi Watsuji, hubungan antara manusia dan lingkungannya (aidagara) sudah ada sebelum konsep lain dimengerti. Pemikiran ini lalu menginspirasi sarjana Prancis bernama Augustin Berque, terutama pada konsep watsuji mengenai manusia dan lingkungan sebagai satu kesatuan, bukan dual-existences atau dua hal yang berdiri sendiri-sendiri.

2. Fūdo (風土)
Dalam buku berjudul Fūdo, dibahas konsep mengenai iklim dan budaya. Fūdo sendiri didefinisikan sebagai “istilah umum yang meliputi iklim, cuaca, bentukan geologis, tanah, topografi, dan pemandangan alam dari sebuah wilayah”.
Iklim dan manusia erat kaitannya. Iklim yang berbeda akan membentuk persepsi diri yang berbeda. Selain itu, pakaian, makanan, tempat tinggal, peralatan, semuanya tergantung iklim yang ditinggali seseorang.
Buku ini terbagi dalam 4 bab. Pada bab I, penulis mendefinisikan konsep Fūdo (iklim). Pada bab II dibahas bagaimana pola kebudayaan dibentuk oleh iklim, dikaitkan dengan 3 variasi iklim. Pada bab III dipaparkan mengenai iklim dan budaya di Cina dan Jepang, terkait dengan karakteristik unik iklim muson. Pada bab IV dibahas mengenai dampak iklim terhadap kesenian, dengan membandingkan antara kesenian barat dan timur.
Pada pendahuluan buku ini, Watsuji menyatakan bahwa fenomena iklim harus dilihat sebagai ekspresi subjektivitas keberadaan manusia dan bukan hanya lingkungan alam. Dia menjelaskannya menggunakan contoh dari fenomena ”dingin”. Ketika kita mendefinisikan ”dingin”, kita sudah mengaitkan dengan subjektivitas kita. Pada puisi dan syair-syair, angin dingin mungkin saja dikaitkan dengan hembusan dingin angin gunung, atau angin kering yang menyapu kota pada akhir musim dingin, atau angin sepoi-sepoi musim semi yang membawa bunga sakura.

3. Fudo dan Pembagian Iklim
Pada buku ini, iklim dibagi menjadi tiga bagian:

A. Muson

Mewakili Asia. Indikatornya panas dan lembab. Karakteristik orangnya patuh dan pasrah.

B. Gurun

Elemen pentingnya adalah “kekeringan”. Orang-orangnya luar biasa efektif. Mereka memiliki rasa kepemilikan yang besar, dan kepatuhan yang berlebihan. Namun mereka juga yang paling gemar berperang dengan bangsa lain.

C. Padang Rumput

Kering di musim panas dan lembab di musim dingin. Tipe orang yang hidup di daerah ini adalah: rasional.

4. Iklim di Jepang
Dalam klasifikasi di atas, Jepang dimasukkan ke tipe pertama, yaitu muson. Namun, tetap saja, iklim di Jepang memiliki keunikan tersendiri. Jepang dipengaruhi oleh benua Asia dan Pasifik. Di satu sisi, tropis, namun di sisi lain, sangat dingin. Pemandangan unik berupa “salju di daun bambu” mungkin yang paling tepat untuk menggambarkannya.
Jepang memiliki pembagian empat musim yang jelas. Walaupun demikian, terdapat perbedaan iklim yang mencolok antara wilayah bagian utara dan wilayah bagian selatan. Pada musim dingin, Jepang bagian utara seperti Hokkaido mengalami musim salju, namun sebaliknya wilayah Jepang bagian selatan beriklim subtropis. Iklim juga dipengaruhi tiupan angin musim yang bertiup dari benua Asia ke Lautan Pasifik pada musim dingin, dan sebaliknya pada musim panas.
Iklim Jepang terbagi atas enam zona iklim, yaitu:
 Hokkaido: Kawasan paling utara beriklim sedang dengan musim dingin yang panjang dan membekukan, serta musim panas yang sejuk. Presipitasi tidak besar, namun salju banyak turun ketika musim dingin.
 Laut Jepang: Di pantai barat Pulau Honshu, tiupan angin dari barat laut membawa salju yang sangat lebat. Pada musim panas, kawasan ini lebih sejuk dibandingkan kawasan Pasifik. Walaupun demikian, suhu di kawasan ini kadangkala dapat menjadi sangat tinggi akibat fenomena angin fohn.
 Dataran Tinggi Tengah: Wilayah ini beriklim pedalaman dengan perbedaan suhu rata-rata musim panas-musim dingin yang sangat mencolok. Perbedaan suhu antara malam hari dan siang hari juga sangat mencolok.
 Laut Pedalaman Seto: Barisan pegunungan di wilayah Chugoku dan Shikoku menghalangi jalur tiupan angin musim, sehingga kawasan ini sepanjang tahun beriklim sedang.
 Samudra Pasifik: Kawasan pesisir bagian timur Jepang mengalami musim dingin yang sangat dingin, namun tidak banyak turun salju. Sebaliknya, musim panas menjadi begitu lembap akibat tiupan angin musim dari tenggara.
 Kepulauan Ryukyu: Kepulauan di barat daya Jepang termasuk Kepulauan Ryukyu beriklim subtropis, hangat sewaktu musim dingin dan suhu yang tinggi sepanjang musim panas. Presipitasi sangat tinggi, terutama selama musim hujan. Taifun sangat sering terjadi. Suhu tertinggi yang pernah tercatat di Jepang adalah 40,9 °C (105,6 °F) pada 16 Agustus 2007
Berkaitan dengan iklim ini, orang Jepang dikatakan sebagai bangsa yang moody, suasananya bisa berubah dengan tiba-tiba. Sikap resisten dan penuh perjuangan adalah hal yang sangat penting namun sifat keras kepala tidak disukai. Hal ini kadang menyebabkan seringnya terjadi reformasi sosial di Jepang, yang tidak diikuti dengan demonstrasi yang gigih. Lebih jelas mengenai karakter orang Jepang akan dibahas pada sub-bab 7.

5. Hubungan Antar Manusia
Pada budaya iklim padang rumput jaman dahulu, pria petualang meninggalkan tempat asalnya dan mencari daerah jajahan. Mereka lalu memperistri wanita di tanah jajahannya tersebut, lalu membentuk keluarga. Ikatan dengan leluhur, mayoritas hanya sampai tingkat “ayah” saja.
Hal ini sangat berbeda dengan budaya gurun di mana garis keturunan bahkan dilacak dari generasi pertama. Pada budaya muson-lah, kehidupan keluarga paling ditekankan. Keluarga saat ini bertanggung-jawab terhadap keluarga di masa lalu dan masa depan, dari leluhur sampai cucu, keluarga hidup bersama untuk membentuk kehidupan yang harmonis.

6. Karakter Orang Jepang
Ada peribahasa yang berbunyi, ”lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”. Artinya setiap masyarakat di setiap daerah/negara umumnya memiliki ciri khas tersendiri. Demikian pula dengan masyarakat Jepang.
Di Jepang, ada perbedaan yang sangat besar antara soto (dlm hal ini berarti orang luar) dan uchi (orang dalam). Rumah tradisional Jepang bahkan tidak dipisahkan dengan gembok dan kunci, karena keluarga sudah dianggap satu kesatuan.
Bandingkan dengan Eropa, di mana kamar satu dengan lainnya terpisah dengan dinding tebal. Rumah adalah satu tempat hidup komunal, namun antara individu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan, bahwa dalam menghadapi orang luar, Jepang sama saja dengan Eropa, mengutamakan individual. Namun konsep ini tidak bisa diaplikasikan orang Jepang dalam menghadapi orang dalam.
Orang Jepang dibesarkan dengan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari kelompok. Hal ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Secara internasional, pandangan ini menjadi; “kami orang Jepang” vs “dunia luar”. Tapi di sekolah perusahaan, sub-bagian perusahaan, ada banyak grup dan sub-grup yang tidak selalu dalam harmoni seperti apa yang terlihat di luar (http://www.thejapanfaq.com/FAQ-Primer.html).
Karena terbiasa berada dalam kelompok, mereka akan melakukan apapun untuk mengikutsertakan semua orang dalam aktivitas kelompok. Semua orang harus terlibat, entah mereka diperlukan atau tidak. Dalam hal ini, mungkin pepatah dalam bahasa Inggris yang berbunyi too many cooks spoil the broth (makna harfiahnya, ’terlalu banyak memasak akan merusak kaldu’, artinya terlalu banyak orang yang diikutsertakan malah akan merusak acara), tidak berlaku bagi orang Jepang (Bill Mutranowsky, 2003:52).
Banyak pendapat yang mengatakan, sifat tertutup tidak dapat dipisahkan dari watak bangsa Jepang. Orang Jepang bukanlah ahli dalam hal bergaul. Secara geografis, Jepang terpisah dari negara-negara lain. Meskipun letaknya tak jauh dari Siberia, Semenanjung Korea dan Cina, Jepang kurang mengadakan hubungan dengan negara-negara lain selama berabad-abad. Setelah Buddhisme dari Cina masuk melalui Korea pada abad keenam, Jepang mengirimkan banyak utusan ke Cina untuk mempelajari berbagai hal, tetapi dengan dimulainya masa pemerintahan Shogun Tokugawa, Jepang lambat laun mulai mengembangkan politik mengasingkan diri dari negara-negara lain, dan akhirnya pada tahun 1639, Jepang dengan resmi melakukan sakoku no kansei yaitu menutup negara sepenuhnya (Naoto Sasaki, 1985:2 dalam www.budpar.go.id/page.php?ic=543&sof=21).
Bill Mutranowsky dalam buku karikaturnya yang diterbitkan tahun 2003 berjudul ”You Know You’ve Been in Japan Too Long....” juga mengungkapkan beberapa keunikan orang Jepang yang mungkin sulit ditemui pada bangsa lain di dunia. Contohnya adalah fakta bahwa dibanding bangsa lain, orang Jepang lebih jarang mengadakan demonstrasi dan pemogokan. Hal ini bukan karena tidak adanya masalah dalam kehidupan di Jepang, namun semata-mata karena orang Jepang memilih untuk menghindari konfrontasi. Menurut masyarakat Jepang, konflik dan konfrontasi secara serius dapat memutuskan hubungan yang harmonis. Jika terjadi konflik, masyarakat Jepang memiliki dua cara untuk mengatasinya. Pertama, dengan sistem nemawashi, dan kedua dengan sistem ringi.
Nemawashi adalah semacam lobbying sebelumnya, membicarakan berbagai kemungkinan keputusan dengan berbagai pihak yang berkepentingan seraya mengemukakan pandangan dan pendapat sendiri juga. Dengan demikian, pada pembicaraan resmi, sudah diperoleh kesepakatan tanpa menimbulkan konflik. Proses nemawashi memang makan waktu dan energi tapi membawa hasil yang lebih baik daripada penerapan konfrontasi atau tekanan.
Nemawashi kerap dilakukan di berbagai bidang seperti politik dan bisnis di mana berbagai kepentingan diperkirakan dapat berbenturan. Kata nemawashi sendiri sebenarnya berarti "menggali dulu di seputar pohon yang akan dicabut, baru kemudian melakukan pencabutan akar", yang artinya mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu sehingga tugas pokok menjadi lebih mudah dan lancar.
Dalam sistem pengambilan keputusan yang kedua yaitu sistem ringi, keputusan sangat diharapkan dari seseorang yang dianggap superior. Ini menandakan adanya senioritas dan junioritas yang sangat kental terasa dalam budaya Jepang. Ketika perintah dari superior terasa sedikit atau kurang jelas, orang Jepang cenderung menyikapinya dengan ”follow the crowd” atau mengikuti apa yang dilakukan orang banyak (Bill Mutranowsky, 2003:45).
Pada kenyataannya di lapangan, orang Jepang cenderung tidak ingin mencari masalah, ia ingin segala sesuatunya berlangsung lancar, cepat dan harmonis. Inilah yang menyebabkan keengganan orang Jepang untuk menyampaikan protes secara langsung.
Ada ungkapan lama Jepang berbunyi kunshi wa hitori o tsutsushimu, yang artinya orang hebat selalu menjaga perilakunya, meskipun sedang sendiri. Dari ungkapan itu tersirat bahwa menjaga perilaku diri sendiri itu dianggap sangat penting, sekalipun tidak ada orang lain yang melihat. Orang Jepang berusaha menjaga citranya sebagai manusia ideal. Apabila gagal menjaga citra tersebut, yang bersangkutan akan merasa malu pada dirinya, dan juga malu terhadap orang-orang lain. Dengan demikian, rasa malu yang dalam bahasa Jepang disebut haji, bukanlah karena takut akan kritikan orang, takut dibenci orang dan sebagainya, tapi lebih disebabkan penyesalan karena telah menodai citra diri sendiri. Kesimpulannya, rasa malu itu timbul lebih banyak dari faktor internal diri sendiri.
Orang Jepang adalah orang-orang yang terkenal akan kedisiplinannya. Mereka biasanya merencanakan kegiatan dengan baik dan detil. Jika berjanji, mereka biasanya telah siap 5 atau 10 menit sebelum waktu janjian tiba. Keterlambatan akan mengganggu jadwal yang telah disusun dan dapat menyebabkan kerugian moril dan materiil (Desky, M.A. 1999: 14). Hal ini mungkin agak berbeda dengan kebiasaan orang Indonesia. Memang tidak semua orang Indonesia tidak disiplin atau tidak tepat waktu, tapi sering kali ada kecenderungan demikian.
Orang Jepang tidak hanya disiplin soal waktu, tapi juga disiplin dalam hal kebersihan terutama dalam hal membuang sampah. Orang Jepang sudah terbiasa membuang sampah pada tempat-tempat tertentu dan pada hari-hari tertentu pula. Di Jepang sampah dibagi atas beberapa jenis dan hari pembuangan sampah-sampah ini berbeda-berbeda tergantung jenisnya. Pemisahan sampah-sampah berdasarkan jenisnya ini juga mempermudah pengolahan sampah yang tidak hanya bermanfaat di sektor ekonomi, tapi juga baik untuk lingkungan hidup.

8. Kesimpulan
Pendapat Watsuji memang tidak bisa dikatakan semuanya benar, namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa banyak yang sesuai dengan realita. Namun perlu diingat bahwa buku Fūdo (風土) diterbitkan pada tahun 1935, sehingga untuk membandingkannya dengan kondisi sekarang, tentu kita harus menambahkan penyesuaian-penyesuaian. Karena iklim berubah, demikian pula dengan manusia. Satu hal yang menjadi intisari tulisan ini, “siapa kita bukanlah hanya berdasarkan apa yang kita pikirkan atau apa yang kita pilih sebagai individu, namun juga merupakan hasil dari ruang iklim di mana kita lahir, hidup, mengasihi, dan mati (Watsuji Tetsurō).






DAFTAR PUSTAKA

Desky, M.A. 1999. Melayani Wisatawan Jepang. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Fukutake Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: PT Gramedia.

Ishida Eiichiro. 1986. Manusia dan Kebudayaan Jepang “Japanese Culture, A Study of Origins and Characteristics”. Jakarta: Center for Japanese Studies.

Japan Culture Institute. 1977. Guides to Japanese Culture. Tokyo: Kodansha.

Moloney, James Clark. 1972. Understanding the Japanese Mind. Tokyo: Charles E. Tuttle Company, Inc.

Mutranowski, Bill. 2003. You Know You’ve Been in Japan Too Long... “Nandesoonano, nipponjin!?“. Jepang: Tuttle Publishing.


Sumber Internet :

http://plato.stanford.edu/entries/watsuji-tetsuro

http://cambridgeforecast.wordpress.com/2008/01/09/climate-culture-watsuji-tetsuro/

www.budpar.go.id/page.php?ic=543&sof=21

http://www.thejapanfaq.com/FAQ-Primer.html

Minggu, 04 April 2010

KANNON DAN CITRA WANITA DALAM BUDHISME

1. Latar Belakang
Selain Konfusianisme dan ajaran samurai, nilai-nilai Budhisme merupakan suatu hal yang sangat mengakar di negara Jepang. Agama Budha masuk ke Jepang sejak pertengahan abad ke-6. Tujuan Budhisme adalah nirvana yang dicapai melalui matinya nafsu buta dan melihat segala sesuatu, termasuk diri sendiri, sebagai dia sebenarnya (Anwar, 2009 : 2).
Pandangan Budhisme cukup mempengaruhi pandangan masyarakat Jepang terhadap wanita. Dalam makalah ini, kita akan membahas pandangan Budhisme terhadap wanita yang dipuja (dalam hal ini, Kannon) dan wanita dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Jepang.

2. Landasan Teori
Terdapat tiga teori utama dalam sudut pandang feminis yaitu liberal feminism, radikal feminism, dan black feminism. Ketiga teori ini sangat berbeda satu sama lainnya. Kali ini yang akan kita gunakan dalam makalah ini adalah teori feminisme radikal. Kaum feminisme radikal melihat problemnya adalah patriarki, yaitu seluruh sistem kekuasaan laki-laki atas perempuan. Penguasa laki-laki, tatanan militer, industri, politik, dan agama yang laki-laki, serikat-serikat buruh laki-laki dan kelompok kiri yang didominasi laki-laki, semuanya merupakan bagian dari patriarki, yang memperkuat dan diperkuat oleh kekuasaan individu laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga mereka. Perempuan adalah satu kelas, dan laki-laki adalah kelas yang lain (Watkins, 2007 : 120).

3. Kannon, Wanita yang Dipuja
Kannon adalah seorang dewi pengampun dosa. Ia adalah salah satu Dewi paling terkenal dalam mitologi agama Budha di Jepang. Sosoknya digambarkan memiliki ribuan tangan dan banyak rupa. Ia memerlukan ribuan tangan untuk menyelamatkan pendosa. Rupanya yang banyak juga memiliki makna tertentu. Singkatnya, Kannon adalah personifikasi dari pengampunan tak terbatas dan pengetahuan yang dalam akan sifat dasar manusia. Kannon juga dikenal sebagai dewi yang bisa menganugrahi anak pada pasangan yang belum berketurunan. Karena itu, dewi Kannon banyak dipuja oleh pasangan yang menginginkan anak dan perkawinan yang langgeng.
Karena kepopulerannya di Asia, Kannon dikenal dengan banyak nama yang umumnya merupakan pengucapan lokal untuk menyebut Guanyin, yaitu sebutan Kannon di Cina (http://en.wikipedia.org/wiki/Guan_Yin):
• Di Jepang, Guan yin disebut Kannon (観音).
• Di Korea, disebut dengan Gwan-eum (관음) atau Gwanse-eum (관세음).
• Di Thailand, disebut dengan Kuan Eim (กวนอิม) atau Phra Mae Kuan Eim (พระแม่กวนอิม).
• Di Vietnam, namanya menjadi Quán Âm or Quán Thế Âm.
• Di Hongkong dan Provinsi Guangdong, disebut dengan Kwun Yum atau Kun Yum dalam bahasa Kanton.
• Di Indonesia, disebut dengan Kwan Im or Dewi Kwan Im.
Kannon sesungguhnya adalah sebutan untuk Bodhisattva Avalokiteśvara. Tradisi masyarakat di Cina, Jepang, dan negara-negara Asia lain telah menambahkan banyak karakteristik khusus dan legenda mengenai Kannon. Walaupun Avalokitesvara awalnya adalah pria, namun di Cina, Kannon biasa digambarkan sebagai wanita. Hal ini karena pengaruh ajaran Kong Hu Cu, yang menilai kurang layak bila kaum wanita memohon anak kepada seorang dewa. Para penganutnya menganggap hal ini sesuai dengan keinginan Kannon sendiri, yang mewujudkan dirinya sebagai seorang wanita, agar lebih leluasa menolong manusia yang membutuhkan pertolongan.
Kepercayaan dari Cina inilah yang kemudian diturunkan ke kaum Budhisme Jepang, yaitu bahwa Kannon adalah seorang wanita. Walaupun demikian, ada juga beberapa orang yang percaya bahwa Kannon adalah seorang pria sekaligus wanita.
Pemujaan Kannon di Jepang dimulai pada abad VII masehi, segera setelah Budhisme masuk ke Jepang melalui Cina dan Korea. Di Jepang, Kannon sering digambarkan dengan 11 wajah (Jyuichi-men Kannon) simbol dari sifatnya yang memancarkan kebahagiaan dan pengampunan ke segala penjuru arah. Kannon juga sering digambarkan memiliki 1000 tangan (Senju Kannon), menyimbolkan kemampuan Kannon untuk merangkul dunia dan mengurangi penderitaan umat manusia di dunia.
Berikut ini adalah dua puluh ajaran welas asih Dewi Kannon :
1) Jika orang lain membuatmu susah, anggaplah itu tumpukan rejeki.
2) Mulai hari ini belajarlah menyenangkan hati orang lain.
3) Jika kamu merasa pahit dalam hidupmu dengan suatu tujuan, itulah bahagia.
4) Lari dan berlarilah untuk mengejar hari esok
5) Setiap hari kamu sudah harus merasa puas dengan apa yang kamu miliki saat ini.
6) Setiap kali ada orang memberimu satu kebaikan, kamu harus mengembalikannya sepuluh kali lipat.
7) Nilailah kebaikan orang lain kepadamu, tetapi hapuskanlah jasa yg pernah kamu berikan pada orang lain.
8) Dalam keadaan benar kamu difitnah, dipersalahkan dan dihukum, maka kamu akan mendapatkan pahala.
9) Dalam keadaan salah kamu dipuji dan dibenarkan, itu merupakan hukuman.
10) Orang yang benar kita bela tetapi yg salah kita beri nasehat.
11) Jika perbuatan kamu benar, kamu difitnah dan dipersalahkan, tapi kamu menerimanya, maka akan datang kepadamu rezeki yg berlimpah-ruah.
12) Jgn selalu melihat / mengecam kesalahan orang lain, tetapi selalu melihat diri sendiri itulah kebenaran.
13) Orang yang baik diajak bergaul, tetapi yang jahat dikasihani.
14) Kalau wajahmu senyum hatimu senang, pasti kamu akan aku terima.
15) Dua orang saling mengakui kesalahan masing-masing, maka dua orang itu akan bersahabat sepanjang masa
16) Saling salah menyalahkan, maka akan mengakibatkan putus hubungan.
17) Kalau kamu rela dan tulus menolong org yg dalam keadaan susah, maka jangan sampai diketahui bahwa kamu sebagai penolongnya.
18) Jangan membicarakan sedikitpun kejelekan org lain dibelakangnya, sebab kamu akan dinilai jelek oleh si pendengar.
19) Kalau kamu mengetahui seseorang berbuat salah, maka tegurlah langsung dengan kata-kata yg lemah lembut hingga orang itu insaf.
20) Doa dan sembah sujudmu akan aku terima, apabila kamu bisa sabar dan menuruti jalanku.
Kenapa Kannon begitu terkenal? Kemungkinan karena Budha seringkali dianggap terlalu agung dan tinggi bagi orang biasa dan sulit untuk dimengerti oleh mereka. Sebagai contoh, dalam rumah tangga, anak-anak lebih mudah berbicara dengan ibu mereka dibandingkan dengan ayah mereka.
Para Budha dianggap sangat agung dan sulit untuk didekati, tetapi para Bodhisattva dianggap sangat dekat dengan umat biasa dan mungkin mendengarkan tentang segala keluhan dan keinginan. Inilah mengapa Bodhisattva Kannon dikenal sebagai pendengar segala penderitaan, mendengarkan segala keinginan dengan welas asihnya dan menyelamatkan manusia.

4. Wanita di Kehidupan Nyata dalam Pandangan Budhisme
Ketika Budhisme pertama masuk ke Jepang pada abad ke-6, tiga sutra yang ditekankan oleh pangeran Shotoku adalah Sutra Lotus, Sutra Vimalakirti, dan Sutra Ratu Srimala. Dua yang terakhir menggambarkan penerimaan kesetaraan wanita dan pria (http://www.urbandharma.org/udharma/womenbuddhist.html)
Dalam sebuah episode sutra Vimalakirti, seorang wanita menciptakan ilusi bertukar tubuh dengan salah seorang pengikut Budha, demi untuk membuktikan bahwa bentuk fisik seseorang tidak berkaitan sama sekali dengan pencerahan spiritual mereka. Wanita ini mengajarkan pengikut Budha tersebut bahwa prasangka buruknya terhadap wanita adalah salah.
Sayangnya, beberapa episode dalam Sutra Lotus membenarkan diskriminasi terhadap wanita. Disebutkan bahwa, Putri Naga yang sangat taat beragama tetap tidak bisa mencapai pencerahan karena tubuhnya (tubuh wanita) yang menjadi penghalang. Namun, ketika Putri Naga mampu menunjukkan betapa berbaktinya ia kepada Budha, Ia pun dianugrahi hadiah. Tubuhnya bertransformasi menjadi tubuh laki-laki. Dan dengan hal ini, ia mampu mencapai nirwana.
Pada periode Heian, seorang wanita Jepang yang bernama Murasaki Shikibu menulis Hikayat Genji (Genji Monogatari) yang merupakan salah satu novel tertua di dunia. Dalam novel ini disebutkan, "Jika mereka [wanita] tidak pada dasarnya jahat, mereka tidak akan dilahirkan sebagai perempuan sama sekali." (http://www2.gol.com/users/friedman/writings/p1.html). Setelah penulisan novel ini, posisi wanita menurun dengan tajam. Saat periode Kamakura, Biarawati dipisahkan dengan Biarawan, dan semua wanita, biarawati ataupun wanita awam, dianggap tidak akan bisa mencapai pencerahan kecuali mereka bisa mengulangi keajaiban yang terjadi pada putri Naga.
Pada tahun 1300, Muju Ichien (seorang pendeta Rinzai Zen) menulis sebuah risalah agama yang berjudul cermin untuk wanita. Dalam tulisan ini, Muju menyatakan bahwa ada banyak contoh dari dosa wanita, yang disebut dengan 7 kebiasaan buruk wanita yaitu :
1. Mereka membangkitkan nafsu pada pria.
2. Mereka Iri Hati
3. Mereka kurang memiliki rasa empati
4. Mereka hanya peduli dengan penampilan sendiri
5. Mereka suka berbohong
6. Mereka tidak tahu malu
Enam bagian pertama tidak begitu mengagetkan untuk jaman itu, bahkan mungkin mirip dengan risalah agama kristen dalam era yang sama. Yang paling menarik adalah dosa ketujuh dari wanita: Tubuh mereka selamanya tidak bersih, dengan menstruasi yang periodik. Ditambah lagi dengan menilik bahwa kehamilan, melahirkan, dan pasca melahirkan adalah suatu hal yang kotor, saat dimana setan datang berlomba, sementara dewa kebajikan pergi (Morrell 1980:68 dalam http://www.westernbuddhistreview.com/vol4/mirror_for_women.html).
Pengertian "wanita" dalam tulisan Muju, memang tidak bisa dipisahkan dari raga mereka yang dianggap dikotori dan mengotori alam. Contohnya, kita bisa menganalisa lebih lanjut tulisan Muju mengenai Karma. Di awal teks, ia mengungkapkan bahwa orang yang kikir dan tamak akan lahir kembali dalam kemiskinan, orang yang sombong akan lahir dalam kasta yang rendah, dan orang yang melanggar aturan akan lahir cacat. Kelahiran seseorang menjadi wanita, bukanlah suatu kebetulan, namun akibat dari perbuatan buruk di kelahiran yang terdahulu.
Muju mempercayai bahwa wanita memang "kotor" secara alamiah. Hal ini berimplikasi signifikan terhadap praktek spiritual wanita karena kesucian sangat ditekankan dalam agama Budha. Karena wanita dianggap "kotor", mereka menjadi tidak diperbolehkan memasuki biara, halaman biara, bahkan dalam kasus yang ekstrim, mereka sampai tidak boleh menginjakkan kaki di gunung tempat bangunan suci itu dibangun.
Hal yang lebih penting lagi, menurut Sutra menstruasi (ketsubon kyo), yang banyak dibaca di Jepang dari jaman Muju hingga akhir abad ke-19, setiap kali seorang wanita menstruasi, ia mengotori tanah dan air yang digunakan untuk membuat persembahan kepada Budha. Sebagai akibatnya, wanita akan lahir kembali dalam kolam darah neraka.

5. Pandangan Feminisme Radikal Terhadap Wanita dalam Budhisme Jepang
Paham Feminisme radikal menekankan pada penindasan pria terhadap wanita. Pria dianggap bertanggungjawab dan mengambil keuntungan dari eksploitasi wanita. Dalam kajian mengenai wanita dalam Budhisme ini, hal yang perlu kita garisbawahi adalah penindasan terhadap posisi wanita dalam Agama Budha.
Wanita dianggap kotor. Wanita dianggap nista. Mereka membangkitkan hawa nafsu dan kelahiran mereka sebagai seorang wanita adalah sesuatu yang disebabkan karena kesalahan mereka di masa lalu. Hal ini tentu memberikan pengaruh terhadap posisi mereka dalam agama.
Jika wanita dianggap kotor, mereka tentu tidak bisa menginjakkan kakinya di tempat-tempat suci. Jika mereka tidak bisa menginjakkan kaki di tempat suci, mereka tentu tidak bisa menjadi orang suci. Tidak bisa menjadi orang suci berarti tidak bisa menjadi pemimpin dalam agama tersebut. Lalu siapakah yang akan menjadi pemimpin? Tentu saja laki-laki. Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa laki-laki mendapatkan keuntungan dari pencitraan yang negatif terhadap wanita.
Feminis Jepang sendiri telah mengkritik berbagai representasi negatif Buddhist terhadap wanita. Salah satu representasi negatif itu adalah bahwa wanita dikatakan terikat dengan five obstacles (5 halangan) dan three subjugations (tiga penaklukan yaitu mematuhi ayah, suami, dan anak laki-laki). Karena mereka benar-benar berdosa, mereka ditolak oleh Budha dalam 10 arah mata angin dan akan jatuh ke neraka tanpa harapan akan diselamatkan (Minamoto,1993:92 dalam http: // www. westernbuddhistreview. com /vol4/ mirror _for _women.html). Hal ini menunjukkan perpaduan antara Budhisme dan Konfusianisme (kepercayaan akan tiga penaklukan/ three subjugation) yang mengekspresikan bahwa wanita memang sudah seharusnya berada di bawah kekuasaan pria (male over female). Pria adalah superior, sementara wanita hanya inferiornya.
Dalam seminar essay yang menjelaskan pandangan Budhisme terhadap wanita, seorang feminist antropolog yang bernama Sherry Ortner menanyakan suatu pertanyaan yang cukup menggelitik, "Apakah status wanita yang berada di bawah status pria, merupakan suatu yang alamiah atau berdasarkan budaya?" Apa benar, wanita dianggap berstatus lebih rendah hanya karena keadaan alamiah tubuhnya, ataukah karena perubahan nilai-nilai budaya telah bergeser sehingga menganggap bahwa wanita berkedudukan rendah?
Di sisi lain, dalam pemujaan terhadap Kannon, kita bisa melihat bahwa walaupun berwujud wanita, namun para penganut Budha di Jepang tak ragu-ragu untuk memujanya. Mengagung-agungkannya. Terutama dalam kaitannya sebagai Dewi yang welas asih, penyabar, pengampun, mampu menganugrahi anak kepada pasangan yang belum dikaruniai buah hati.
Kalau kita pikirkan lebih jauh, bukankah sifat-sifat seperti welas asih, penyabar, dan sebagainya adalah sifat-sifat yang pria harapkan dimiliki oleh wanita? Penuh kasih sayang, mengurus anak di rumah, penyabar. Kebanyakan pria tidak akan menggambarkan seorang wanita yang ideal sebagai feminis, lesbian, wanita yang tidak mau menikah, penyihir, pelacur, dan wanita berkarir tinggi. Karena umumnya, wanita-wanita yang dianggap agak menyimpang oleh masyarakat seperti itu adalah wanita yang masuk golongan resitant femininity, yaitu kaum yang menolak subordinasi di bawah kekuasaan pria.
Apakah pencitraan dewi Kannon seperti yang kita kenal sekarang ini juga merupakan bentuk pencitraan yang dibuat pria untuk semakin mengukuhkan image wanita seperti yang mereka inginkan? Kita tak pernah tahu, namun selalu ada kemungkinan untuk itu.
Menilik dari legenda putri Naga yang harus berubah menjadi pria lebih dahulu sebelum mencapai nirvana, ketidakseimbangan antara posisi pria dan wanita dalam pandangan Budhisme Jepang merupakan suatu hal yang sulit terelakkan lagi. Sampai kapankah semua hal ini akan berakhir? Semoga tak lama lagi.



Daftar Referensi

Anwar, Etty N. 2009. Akuninshoki-Zettai Tariki dalam Agama Buddha Jepang. Jakarta : Penaku.
Bunce, William K. 1976. Religions in Japan. Japan : Charles E. Tuttle Company, Inc.
Cherry, Kittredge. 1987. Womansword : What Japanese Words Say About Women. Japan : Kodansha International Ltd.
Henshall, Kenneth G. 2002. Dimensions of Japanese Society : Gender, Margins, and Mainstream. New York : Palgrave Macmillan.
Iwao, Sumiko. 1993. The Japanese Woman : Traditional Image and Change Reality. New York: The Free Press.
Tenri Yamato Culture Congress. 2003. Women and Religion. Japan : Tenri Jihosha.
Mackie, Vera. 2003. Feminism in Modern Japan. United Kingdom: Cambridge University Press.
Watkins, Susan Alice, Marisa Rueda, dan Marta Rodriguez. 2007. Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book.

Website :
http://www.westernbuddhistreview.com/vol4/mirror_for_women.html
http://www.urbandharma.org/udharma/womenbuddhist.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Guan_Yin
http://www2.gol.com/users/friedman/writings/p1.html
http://www.feministissues.com/radical_feminism.html

Jurnal :
Gender Equality in Japan 2007. Gender Equality Bureau, Cabinet Office, Government of Japan.

Rabu, 31 Maret 2010

Orientalism (artikel yang belum smpurna, jangan dipercaya begitu saja)

Istilah Orientalism muncul sebagai sudut pandang bangsa Barat (Eropa) dalam melihat suatu tempat tertentu, yang kemudian dianggap mewakili keseluruhan bangsa Asia.
Bagi Bangsa Eropa, Orient bukan hanya tetangga dekat, tetapi juga koloni, negara jajahan tertua bagi bangsa-bangsa di Eropa, asal kebudayaan tertua, kontestan bagi kebudayaan Eropa (Sejarah Perang Salib, Kontra Reformasi di Spanyol). Orient adalah segala sesuatu yang kebalikan dari Barat (Occident), yang membentuk definisi apa itu Barat (Eropa).
Amerika Serikat melihat Orient berbeda dengan bangsa Eropa. Mereka memfokuskan Orient sebagai Timur Jauh (Jepang dan China), sedangkan bangsa Eropa memfokuskan Orient sebagai Arab dan India.
Istilah Orient digunakan bangsa Barat untuk menunjukkan suatu wilayah tertentu, karakteristik budaya di suatu wilayah tanpa memandang sebagai suatu kebudayaan tersebut memiliki akar budaya, ciri khas yang berbeda. Orientalism digunakan untuk menggeneralisasi seluruh masyarakat di Asia sebagai suatu yang “kebalikan” dari Eropa (Barat).

Arti Orientalism
* Orientalism merupakan sudut pandang akademis untuk mengetahui apa yang dipelajari dan dapat dilakukan di Orient.
* Cara berpikir secara ontologi dan epistomologi untuk membuat jarak antara the Orient (Timur) dengan the Occident (Barat).
* Cara Bangsa Barat mendominasi, menstrukturisasi, dan menguasai Orient.

* Tanpa melakukan dialog yang mendalam akan sulit memahami Orient.
* Terjadi kemudian adalah bangsa Eropa menciptakan sendiri suatu kajian politik, sosiologi, militer, ideologi, keilmuan, dan imajiner pada Masa Pencerahan tentang apa itu Orient.
* Dengan demikian Orientalism dalam memandang Orient bukan melihat suatu subjek dengan sudut pandang yang bebas.
* Orientalism digunakan untuk membuat entitas kebudayaan Eropa lebih unggul dibandingkan bangsa-bangsa di Orient.

* Said menyatakan bahwa Orient bukan kenyataan alam, tetapi dibuat oleh manusia, dalam hal ini bangsa Eropa. Keberadaan geografi Orient dijadikan entitas budaya yang dianggap inferior dibandingkan kebudayaan Barat.
* Orient seharusnya dilihat sebagaimana Barat melihat dirinya sendiri, yaitu memiliki sejarah dan tradisi pemikiran tersendiri, serta imajinasi yang membentuk sebuah identitas diri.

* Orient bukanlah sebuah ide, gagasan, tetapi sebuah konstelasi, kumpulan ide yang dibentuk untuk melihat kebudayaan, negara, bangsa yang ada di timur Eropa.
* Ide tentang Orient muncul secara konsisten untuk menunjuk bahwa Orient tersebut sesuai dengan cara pandang yang digunakan penganut Orientalism di berbagai karya ilmiah, novel, puisi, lukisan, dan sebagainya

Karya-karya yang Mengandung Orientalism
# Novel
Siddhartha novel yang dikarang oleh Hermann Hesse, menceritakan perjalanan spiritual seorang lelaki bernama Siddhartha. Novel ini diterbitkan tahun 1922.
# Puisi
"Kubla Khan; or, A Vision in a Dream: A Fragment" adalah sebuah puisi yang ditulis oleh Samuel Taylor Coleridge, yang judulnya diambil dari nama pimpinan Mongol dan Cina pada masa dinasti Yuan, Kublai Khan. Coleridge menulis puisi ini pada musim gugur 1797 di sebuah peternakan di dekat Exmoor, Inggris.
# Pertunjukan Teater
The Geisha : story of a tea house adalah sebuah pertunjukan komedi musikal yang diproduseri oleh George Edwardes. Pertama kali dipentaskan pada 25 April 1896 adi Daly's Theatre di London.
# Orkestra
In the Steppes of Central Asia, puisi simfonik yang dikarang oleh Alexander Borodin, digubah tahun 1880.
# Lukisan
Arab’s (1871), dilukis oleh pelukis prancis bernama Eugène Fromentin
# Majalah
Oriental Stories (1930-1934). Sesuai dengan judulnya, majalah ini berspesialisasi pada cerita petualangan dan fantasi dengan latar belakang dan elemen Oriental.
# Film
The Thief of Bagdad adalah film fantasi tahun 1940 yang diproduseri oleh Alexander Korda. Film ini memenangkan Academy Awards untuk Cinematography, Art Direction dan Special Effects.
Memoirs of Geisha (The Movie) : diproduksi tahun 2005, merupakan adaptasi dari novel yang berjudul sama. Diproduksi oleh Steven Spielberg dan Douglas Wick. Mengisahkan tentang seorang gadis bernama Chiyo, yang dijual untuk menjadi seorang Geisha.

Di Indonesia sendiri, ada yang memiliki pendapat yang senada dengan Edward Said :
# Rumah Kaca. Novel keempat dari Tetralogi Pulau Buru, karya Pramoedya Ananta Toer. Berkisah tentang upaya pemerintah kolonial menaklukkan gerakan politik kaum pribumi dengan cara kotor dan keji.
# Novel Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Novel ini berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.


* Cara pandang Orientalism berkaitan bahwa ide, budaya, dan sejarah Oriental tidak dapat dipelajari tanpa mempelajari kekuatan mereka, tepatnya konfigurasi kekuasaan. Dengan demikian kita akan mengetahui bahwa Orient sebenarnya dibentuk untuk menjadi “Orient” oleh bangsa Barat yang menjajah dan menguasai mereka, Orientalized.
* Hubungan antara Orient dengan Occident adalah hubungan kekuasaan. Tidak terjadi begitu saja. Hubungan di antaranya adalah Occident menguasai, mendominasi Orient, dalam berbagai level.
* K.M. Pannikar dalam Asia and Westerner menyatakan bahwa Orientalized terjadi bukan karena adanya penemuan tentang “Oriental” tetapi juga karena dapat “dibuat” untuk menjadi Orient.

Orientalism merupakan tanda kekuasaan Eropa terhadap Orient. Orientalism adalah sebuah struktur mitos yang dibuat untuk menunjukkan kebenaran tentang Orient, bukan hal yang sebenarnya tentang Orient.
* Orientalism bukanlah sebuah fantasi yang ada di Eropa, tetapi sekumpulan teori dan praktik yang diperoleh dari berbagai penelitian sehingga terbentuk suatu sistem yang membentuk pengetahuan tentang Orient.
* Dengan demikian pengetahuan mengenai Orient ini diterima dan dilanjutkan dalam suatu bentuk kajian akademis yang berhubungan dengan kegiatan politik, sosial ekonomi, dan institusi kekuasaan yang ada di dalamnya.

* Cara pandang Orientalism akan selalu berkaitan dengan strategi yang fleksibel dari para superior, Bangsa Barat, sehingga dapat terus secara berkesinambungan berhubungan dengan Orient tanpa kehilangan kekuasaan sebagai yang di “atas”.
* Dengan memiliki kekuasaan tersebut, para ilmuwan, agamawan, pedagang memiliki kekuatan untuk membentuk Orient dan menampilkannya di Barat sebagai suatu yang beda, unik, dan patut dikaji dan diteliti dengan metode yang berbeda dengan Bangsa Barat.

Mengapa Orientalism bisa bertahan lama?
Untuk membahas hal ini, kita perlu melihat dulu, pengertian hegemoni menurut Antonio Gramsci : “suatu tatanan ide dan moral yang dapat menarik kesepakatan aktif dari kelas-kelas sosial yang didominasinya.
Menurut Said, Orientalism dapat menguasai wacana-wacana tentang Timur, justru karena adanya kesepakatan aktif dari orang-orang yang didominasi Barat. Jadi, Orientalism didukung oleh kelas sosial lokal (pribumi) yang mengambil keuntungan dari sistem kolonial tersebut.

Edward W. Said particular course and writing
1. Jarak antara pengetahuan murni dan pengetahuan politik
* Pengetahuan murni bukan didasari oleh politik. Sedangkan pengetahuan tidak murni selalu dikaitkan dengan kepentingan politik di mana kondisi politik mempengaruhi suatu pengetahuan yang berkembang saat itu.
* Benar adanya suatu ilmu pengetahuan tentang manusia tidak dapat seluruhnya lepas dari keadaan peneliti itu sendiri. Untuk itu bagi bangsa Barat melihat Orient dalam kondisi penguasa akan mempengaruhi sudut pandang Orientalism, itu sendiri.
* Keadaan politik pada abad ke-18 memunculkan pandangan tentang jarak antara Occident dan Oriental sebagai dua bagian dunia yang berbeda. Hal ini menyebabkan timbulnya sudut pandang keilmuan bahwa yang bukan Occident adalah Orient dan untuk itu sudut pandang yang digunakan limuwan Barat untuk meneliti Orient adalah Orientalism.

2. The Metodological question

* Said memfokuskan penelitiannya pada arsip-arsip yang dimiliki oleh orang Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, karena ketiga negara ini memiliki kekuasaan besar dalam mendominasi Orient.
* Dengan menggunakan arsip-arsip dari ketiga negara Barat ini dapat dilihat peranan politik dan kekuasaan yang kuat oleh bangsa Barat untuk membentuk apa yang disebut Orient dan Orientalism.
* Dengan melihat bagian luar sumber teks akan terlihat ide-ide yang berkembang yang berkaitan dengan Orientalism. Said juga menekankan untuk melihat representasi tentang Orient, bukan apa yang “sebenarnya”.

3. The Personal dimension
* Said sebagai keturunan Orient yang mempelajari Oriental dalam budaya Barat, melihat secara nyata dominasi dan hegemoni Barat dalam mengkaji kebudayaan Orient.
* Semua jejak dan catatan sejarah yang diperoleh Said selalu dalam sudut pandang Barat. Sangat sulit ditemukan berbagai arsip penelitian tentang Orient yang bersumber dari sudut pandang Orient itu sendiri.
* Said sendiri merasakan bagaimana rasanya hidup sebagai orang Orient yang tinggal di Barat dan dinilai sebagaimana orang Barat menilai seluruh orang Orient tanpa berusaha memahami lebih dulu.

KESIMPULAN

* Said menawarkan cara baru dalam memahami bagaimana suatu kebudayaan mendominasi kebudayaan lain berjalan
.* Untuk memahami Orient, maka perlu dilakukan penghapusan pemikiran, pola pemikiran baru yang meniadakan “Occident” dan “Orient” sebagai suatu yang berbeda.

Minggu, 21 Maret 2010

TANTANGAN DALAM DUNIA KARIER BAGI WANITA BERUMAH TANGGA DI JEPANG

1. LATAR BELAKANG
Nilai konvensional mengenai hubungan gender dalam masyarakat Jepang telah menempatkan dunia pria berada dalam tempat kerja dan wanita berada di rumah. Kalaupun bekerja, wanita hanya akan menjadi inferior dari posisi pria yang superior.
Saya pernah melihat sebuah gambar yg ada di buku Sociology : A Down to Earth Approach, 2008. Yaitu sebuah gambar yang diambil dari buku anak-anak tahun 1970-an yang beredar luas di masyarakat. Saya jadi bisa lihat bagaimana mind-set yang dibangun pada anak-anak yang membaca buku ini ; Ketika laki-laki menjadi pilot, perempuan menjadi pramugari. Ketika laki-laki menjadi presiden, perempuan menjadi ibu negara. Ketika laki-laki menjadi dokter, perempuan menjadi perawat. Ketika laki-laki membangun rumah, wanita mengurus rumah itu (membersihkan dan lain lain).
Nilai-nilai seperti inilah yang beredar luas di masyarakat dunia, tak terkecuali Jepang. Contohnya bisa kita lihat pada banyaknya wanita Jepang yang bekerja menjadi OL (office ladies), sementara rekan prianya menjadi sarariman. OL seringkali dianggap hanya sekedar asisten bagi sarariman, untuk mengerjakan tugas-tugas sederhana seperti mengganti asbak yang kotor, memesan makan siang, membelikan rokok, membuat teh, dan sedikit mengetik.
Seiring berkembangnya masyarakat Jepang, kini banyak aspek yang berubah termasuk kedudukan wanita dalam dunia kerja. Contohnya anggapan umum yang ada dalam masyarakat Jepang bahwa wanita akan berhenti bekerja jika menikah. Hal ini masih terjadi, tapi kondisinya menjadi agak berbeda, dimana sedikit wanita yang memutuskan untuk berhenti bekerja ketika menikah dan hal ini membawa perubahan di dunia kerja. Level manajer (yang didominasi pria) sekarang lebih mempertimbangkan bahwa wanita bekerja lebih lama dan punya jenjang karirnya sendiri. The Equal Employment Opportunity Law, UU yang dikeluarkan pemerintah Jepang tahun 1986, “Equal work, equal pay”, telah membawa perubahan dalam jenjang karir dan pola kerja wanita Jepang. Namun tetap saja dianggap belum optimal.
EEOL mendukung pekerja untuk mengusahakan kesetaraan kesempatan dalam merekrut dan mempekerjakan, penugasan, training, dan prosedur pemecatan. Menurut sebuah survey yang diadakan oleh Departemen Tenaga Kerja 10 bulan setelah EEOL ditetapkan, 3 hingga 15 persen perusahaan melaporkan adanya perubahan dalam kebijakan perusahaan demi mengusahakan kesetaraan pria dan wanita. Contohnya, dalam beberapa jenis pekerjaan yang dulu hanya diperuntukkan untuk pria, kini dibuka juga untuk wanita. Hasilnya terlihat dalam survey yang diadakan Japan Institute of Women's Employment, yang melaporkan bahwa sebelum EEOL ditetapkan, ada hampir 23% dari lowongan kerja yang hanya diperuntukkan untuk pria. Hasil ini berubah drastis pada musim panas 1987 dimana hanya 3% lowongan kerja yang khusus mencari pekerja pria. Di sisi lain, lowongan kerja tanpa diskriminasi jenis kelamin (menerima pria maupun wanita) meningkat sangat tajam, dari 32% pada tahun1986 hingga 72% pada tahun 1997 (Iwao, 1993 : 178). Namun, ada sebuah masalah besar yaitu, perusahaan mau membuat perubahan bukan untuk memberantas diskriminasi, tapi semata-mata untuk menjaga image baik perusahaan di mata wanita dan publik. Undang-undang ini juga tidak menetapkan sanksi yang jelas kepada perusahaan yang tidak mau mengindahkan EEOL. Karena itu, undang-undang ini ibarat macan tak bergigi.
2. PARTISIPASI WANITA JEPANG DALAM DUNIA KERJA
A. PARTISIPASI WANITA JEPANG DALAM PARLEMEN NASIONAL

1. Hasil Pemilu Tahun 2005
9.4% dari total anggota Majelis (Tinggi dan Rendah) adalah wanita. 12.4% dari total anggota Dewan Penasihat adalah wanita.
2. Hasil Pemilu Tahun 2009
Tahun Pemilu Agustus 2009, 11.3% dari total anggota Majelis Rendah adalah wanita (54 dari 480 orang) Tahun Pemilu Juli 2007, 18.2% dari total anggota Majelis Tinggi/ Senat adalah wanita (44 dari 242 orang) .


Data yang ditampilkan diatas Menunjukkan adanya peningkatan jumlah wanita yang sukses menduduki posisi eksekutif di bidang administrasi, dunia internasional, hukum, politik dan perusahaan. Namun kenaikan ini tidak drastis, tetap memerlukan waktu yang lama dan komitmen dari pihak wanita itu sendiri (profesionalitas).
Bagi wanita pekerja Jepang-wanita tidak menikah/menikah tdk melahirkan anak, bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu. Astronout wanita Asia pertama, bahkan mungkin yang pertama pula di dunia, terbang dua kali dengan NASA, space-shuttle Columbia-Juli 1994 dan Discovery-Nov 98 adalah wanita Jepang, Dr. Chiaki Mukai. Menlu sekaligus Deputi Perdana Menteri dari negara super economic power sekaligus bangsa tersejahtera didunia serta memiliki harapan hidup terlama, dan sedang berjuang meningkatkan peranan Jepang di Dewan Keamanan PBB, adalah seorang wanita, Yoriko Kawaguchi.
Kebebasan memilih bagi wanita Jepang adalah, profesionalisme. Bagi wanita bekerja yang telah menikah, peran ganda yang dilakoni adalah sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja. Dianggap sebagai chuto hanpa (peran tanggung), tidak populer di Jepang. Menjadi ibu manusia Jepang atau tidak sama sekali. Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan mendukung kesuksesan masing-masing karir yang diemban.
3. KONSEP WANITA JEPANG DALAM MEMBESARKAN DAN MENDIDIK ANAK
Jam kerja, bagi karyawan Jepang jam kerja dimulai dari jam 9 – 5 namun kenyataan di lapangan mereka bekerja hingga jam 11 malam. Hanya tersedia tempat penitipan anak hingga pukul 5 sore sementara mereka harus bekerja melebihi waktu tersebut. Hal ini menyebabkan para wanita pekerja yang memiliki anak harus cepat pulang untuk menjemput anak mereka dan hal itu berpengaruh pada performa mereka ditempat kerja.
Bagi wanita Jepang yang memilih melahirkan anak. Dikenal ungkapan dalam bahasa Jepang yaitu mitsugo no tamashi hyaku made (The soul of a child of three, lasts for the rest of his/her life) Maka itu, tiga tahun pertama adalah masa-masa emas, masa perkembangan pesat otak seorang anak dan peranan seorang ibu sangat besar dalam melaksanakan ikuji (meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya). Bekal pendidikan dasar inilah yang akan melekat pada diri seseorang sampai tua nanti. Konsep ini menjadi salah satu penyebab utama ibu muda Jepang berpendidikan meninggalkan lapangan kerja.
Tokoh pendidikan terkenal di Jepang, Shinichi Suzuki mengatakan bahwa nasib anak tergantung dari hasil didikan orang tua, dan kualitas pendidikan anak sangat besar ditentukan oleh orang tua sampai anak berumur 7 tahun :
“The destiny of children lies in the hands of their parents. The direction and quality of destiny are largely determined by the parents in the first seven years of child’s life.”
Seperti yang diungkapkan dalam pepatah Jepang tersebut, masyarakat Jepang memandang bahwa kehidupan anak di usia dini adalah periode yang sangat penting bagi perkembangan hidup seseorang nantinya. (Hendry, 1986: Holloway, 2000; Lewis, 1995)
Selama periode pertumbuhan ekonomi yang pesat setelah Perang Dunia II, pembagian kerja berbasis jender menjadi lebih mencolok dimana pada masa tersebut perempuan hanya diharapkan untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Namun, banyak ibu mengalami kesulitan dalam melakukan peran sebagai seorang ibu, mereka merasa dibatasi dalam peran mereka, dan ketika mencari identitas selain menjadi ibu mereka merasa tidak kompeten sebagai orangtua.
Para peneliti percaya bahwa fokus yang unik dari Jepang dalam praktik sosialisasi anak usia dini merupakan refleksi dari nilai-nilai tradisional masyarakat dan dapat membantu menjelaskan banyak karakteristik khas Jepang terlihat di antara orang dewasa, seperti kesopanan, ketekunan, dan etika kerja yang kuat.
Shichi-go-san adalah ritual tahunan di Jepang yang dirayakan oleh setiap keluarga pada tanggal 15 November untuk memperingati perkembangan anak di usia 3, 5, dan 7 tahun. Secara literal berarti 7-5-3. Mengapa begitu penting? Karena usia 3, 5, dan 7 tahun dianggap merupakan masa-masa kritis dalam kehidupan seorang anak. Orang tua membawa anak perempuan saat berusia 3 dan 7 tahun, sedang anak laki-laki pada usia 5 tahun, ke kuil untuk didoakan oleh pendeta Shinto, agar sang anak sehat, berumur panjang, dan mempunyai kehidupan yang makmur.
Karena tidak ingin kehilangan masa-masa emas anaknya, wanita seringkali enggan melanjutkan bekerja. Lalu bagaimana dengan wanita yang meneruskan bekerja? Mereka dapat memasukkan anak mereka ke tempat penitipan anak (Houikuen). Walaupun demikian, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu sang Ibu harus mampu menunjukkan bahwa dia tak mampu untuk mengurus anaknya, dengan cara menunjukkan surat keterangan sedang bekerja. Ibu yang bekerja full-time, lebih diprioritaskan dari ibu yang bekerja part-time.
Jumlah tempat penitipan anak di Jepang memang tak sebanding dengan jumlah yang diperlukan. Berdasarkan data dari the Health, Labor, and Welfare Ministry pada April 2000, hanya ada 22.200 TPA yang disubsidi pemerintah. Sementara itu, masih ada 8.856 TPA lainnya yang tidak mendapat subsidi. Jumlah yang sedikit ini, menyebabkan adanya daftar tunggu yang panjang bagi ibu yang ingin menitipkan anaknya.
Menitipkan anak di TPA pun sebenarnya tak luput dari permasalahan. TPA tidak menawarkan waktu yang fleksibel. Ibu tidak bisa mengatur waktu dan hari semau mereka. Mereka harus memilih, bekerja full time dan menitipkan anak mereka seharian atau tidak bekerja dan menjaga anak mereka di rumah. Hal ini tentu sulit bagi ibu rumah tangga yang hanya ingin bekerja part-time, beberapa jam dalam sehari (Intercultural Communication Studies, 1993 : 41). Banyak juga ibu yangmengeluh bahwa guru di TPA terlalu melakukan intervensi terhadap anak mereka. Terjadilah persaingan antara ibu dan guru. Hal inilah yang tentu seharusnya tidak terjadi, apalagi bila mengingat bahwa anak-anak saat itu sedang berada dalam periode emas.
4. TOLAK UKUR KESUKSESAN WANITA EKSEKUTIF YANG BERUMAH TANGGA
1 . Memiliki pendidikan yang tinggi
2 . Memiliki karier yang cemerlang
3 . Mampu menjalankan aktifitas sebagai wanita karier sekaligus ibu rumah tangga secara seimbang
4 . Menjadi ibu yang baik dalam mendidik anak
5 . Walaupun menikah merasa bangga karena memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri karena bekerja
6 . Merasa sukses ketika sang anak berhasil dalam kehidupan pendidikan dan sosial walaupun sang ibu sibuk dengan kariernya.
5. MENGAPA HANYA SEDIKIT WANITA JEPANG YANG MENDUDUKI JABATAN TINGGI?
1. Banyak wanita yang berhenti bekerja ketika punya anak, sehingga kehilangan senioritas mereka.
2. Karena waktu kerja mereka yang singkat (umumnya berhenti ketika menikah atau punya anak), maka perusahaan tidak memberikan posisi yang strategis kepada mereka. Posisi tersebut menjadi diduduki oleh pria yang niscaya akan bekerja seumur hidup.
3. Perusahaan merekrut manajer dari orang dalam yang sudah terlatih dan berpengalaman. Karena wanita sudah absen begitu lama (karena membesarkan anak), pengalaman mereka pun menjadi kurang dari rekan pria sejawat mereka yang tidak pernah berhenti bekerja, sehingga kalaupun bisa kembali ke perusahaan tempat mereka bekerja dulu, wanita sulit untuk meniti karier menjadi manajer.
4. Hanya sedikit wanita yang memiliki latar belakang akademik yang sesuai dengan posisi manajer di mayoritas perusahaan Jepang, yaitu bisnis, ekonomi, hukum, atau teknik.
5. Masih ada banyak keraguan akan kemampuan perempuan dalam memimpin.
6. KESIMPULAN
Nilai konvensional mengenai hubungan gender dalam masyarakat Jepang telah menempatkan dunia pria berada dalam tempat kerja dan wanita berada di rumah. Seiring berkembangnya masyarakat Jepang, banyak aspek yang berubah termasuk kedudukan wanita dalam dunia kerja. The Equal Employment Opportunity Law. UU yang dikeluarkan pemerintah Jepang tahun 1986. “Equal work, equal pay”, telah membawa perubahan dalam jenjang karir dan pola kerja wanita Jepang. Namun tetap saja dianggap belum optimal. Adanya peningkatan jumlah wanita yang sukses menduduki posisi eksekutif di bidang administrasi, dunia internasional, hukum, politik dan perusahaan.
Bagi wanita bekerja yang telah menikah, peran ganda yang dilakoni adalah sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja. Hal ini merupakan tantangan yang sangat besar, karena pendidikan anak tidak kalah penting dengan karir sang ibu. Konsep masyarakat Jepang dalam hal mendidik anak, seperti “mitsugo no tamashi”, “kualitas pendidikan tergantung dari 7 tahun pertama”, meletakkan tanggung jawab yang besar dalam peran ibu mendidik dan membentuk kepribadian anaknya sedari kecil.
Ritual shichi-go-san menempatkan anak sebagai aset manusia yang sangat penting bagi keluarga. Jika menyangkut masalah mengurus dan mendidik anak, banyak ibu muda Jepang yang memutuskan berhenti bekerja. Namun ada beberapa yang tetap melanjutkan karirnya, karena ada anggapan bagi mereka sukses itu adalah sukses dalam karir dan dalam mengurus anak. Namun tetap saja hal ini harus dijalani dengan profesionalitas dan kemauan yang keras karena faktor lingkungan kurang mendukung. (jam kerja sampai malam, penitipan anak hanya sedikit, dll).





DAFTAR REFERENSI
Edwards, Louise. 2000. Women in Asia. Malaysia : Allen & Unwin.
Henslin, James M. 2008. Sociology : A Down-to earth Approach. USA : Pearson International Edition.
Imamura, Anne E. 1987. Urban Japanese Housewives : At Home and in the Community. USA : University of Hawaii Press.
Iwao, Sumiko. 1993. The Japanese Woman : Traditional Image and Change Reality. New York: The Free Press.
Mackie, Vera. 2003. Feminism in Modern Japan. United Kingdom: Cambridge University Press.
Saso, Mary. 1990. Women in the Japanese Workplace. London : Hilary Shipman Limited.
Website :
http://akumukita.multiply.com/journal/item/16/brcermin_pada_ibu_pendidikan_dijepang
http://www.nytimes.com/pages/world/index.html
www.learninginfo.org
www.gender.go.jp
http://search.japantimes.co.jp

私の夢の家

こんにちは。。エヴァと申します。
今、私は下宿に住んでいます。でも、いつか、いい木造に住んで見たい!!と言う夢があります。機能的な大くて家がいいと思います。
家の壁に青いペンキを塗ります。家も明るく見えます。その家は二階建て、人が五人住むのに十分な広さを持っています。一階には玄関、リビングルーム,キッチン、テレビルームがあります。バス付のマスタールームと子供達のルームは二階にあります。主な家具はベッド、本棚、仕事机、テーブルセット、洗濯機です。
東向きの大きな窓には花柄のカーテンをかけます。毎朝、日光はその大きな窓から家に入ります。
もちろん、庭付き。庭には私の三人の子供が走り回れるくらいの庭がほしいです。その庭にマンゴ-の木ときれいな花を植えたいと思っています。マンゴーの木の枝にぶらんこを掛けます。夕方には、そのぶらんこで子供達と遊びます。
家の前に小さいヒンズーのお寺があります。毎日、そのお寺にお祈りをします。お寺のそばに、小さい池があります。その池に色々な魚がいます。
家の立場は、学校や職場から近くにしたいと思います。毎日、私と夫は自転車で通勤します。子供達も自転車で通学します。近所の人々は本当にフレンドリーです。私は皆をよく知り合います。よく近所の人々と挨拶をします。
私の一番好きなルームは、テレビルームです。夕食を食べた後、家族と一緒にテレビを見ます。飼い犬のチャロもその所で子供達と遊びます。時々、私たちは、面白い漫画のDVDを見ます。
夜になると、私と夫は二回にあるベランダで、星を見ます。その夜の空は美しくてたまらないです。スローな歌がテープレコーダーから聞こえます。雰囲気もロマンチックになります。
だから、いつか、かわいらしい、庭付きの広い家に住むことができたらなーと思います。今、まだ働いていませんが、将来、その夢の家をきっと実現します!じゃ、頑張ります!!

Sabtu, 20 Maret 2010

Anda Anggap Apa Wanita? : Sekilas Tentang Dilema Wanita di Berbagai Belahan Dunia

Belum lama ini, seorang teman wanita berkeluh kesah kepada saya tentang pacarnya yang ia anggap feodal. Katanya, pada suatu hari ia mengutarakan niatnya untuk studi ke luar negeri kepada pacarnya.
“Tahun depan aku mau kuliah ke Inggris”
“Jangan”
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan.”
“Bukannya waktu kakakmu S2 ke Amerika tahun lalu kamu ikut senang.”
”Iya, tapi dia kan laki-laki. Kamu kan perempuan, nggak usah kuliah sampai sejauh itu.”

*************


Bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, dalam dunia spiritual pun laki-laki sering dianggap lebih superior dibanding wanita. Dalam berbagai buku agama dan karya seni seperti lukisan (contoh yang terkenal adalah lukisan berjudul Creation yang dilukis oleh Michelangelo), sering kali Tuhan digambarkan sebagai pria, bukan wanita. Banyak pula kisah dalam berbagai agama yang mencantumkan bahwa pria diciptakan lebih dahulu oleh Tuhan, sementara wanita diciptakan kemudian dari tulang rusuk pria. Para penganut Yahudi ortodok bahkan setiap harinya berterima kasih kepada Tuhan karena mereka tidak dilahirkan sebagai wanita. (Gregersen 1994:88)
Semua itu adalah fakta-fakta yang sering kita temukan ketika mengkaji perbedaan wanita dan pria dari sisi spiritual. Pertanyaanya sekarang, dalam kehidupan masa kini yang katanya sudah menginjak era globalisasi dimana hak pria dan wanita sudah setara, masihkah terjadi ketimpangan antara kedudukan wanita dan pria?
Mantan perdana menteri India, Jawaharlal Nehru pernah berkata, ”You can tell the condition of the nation by looking at the status of its women” (Kita bisa melihat kondisi suatu bangsa dengan melihat status kaum wanitanya). Di Iran, walaupun dalam beberapa tahun terakhir sudah terdapat banyak kemajuan dalam bidang perjuangan hak-hak perempuan seperti dihapuskannya peraturan yang membatasi pemilihan jurusan di universitas oleh wanita, diperbolehkannya wanita untuk ikut dalam parlemen, bahkan sampai didirikannya universitas khusus wanita (salah satunya universitas Al-Zahra), tetap saja masih ada hak wanita Iran yang dibatasi. Contohnya, wanita tidak boleh mencalonkan diri sebagai presiden ataupun menjabat sebagai hakim. Wanita Iran juga tidak mendapat hak penuh atas anak-anak mereka setelah bercerai dan jika menerima warisan hanya boleh menerima setengah dari warisan yang diterima pria.
Padahal peran wanita di negara ini begitu besar. 50 % doktor dan 90 % tenaga medis Iran dari kalangan perempuan. Dalam bidang kebudayaan dan kesenian, tercatat pada tahun 2006 bahwa sudah ada lebih dari 8.673 buku yang ditulis oleh wanita Iran dan telah dipublikasikan. Wanita Iran juga telah membuat 473 judul film pada tahun 2005, yang sudah diikutsertakan pada berbagai kompetisi film internasional di berbagai belahan dunia. Dalam bidang iptek pun, wanita Iran turut mengambil andil besar. Dibuktikan dengan salah satu ilmuwan wanita Iran, Prof. Nasrin Moazami yang pada tahun 1986 menemukan bahwa bakteri Bacillus Thuringeinsis dapat membunuh larva nyamuk Anopheles, Aedes, dan Culex. Penemuan ini sungguh berguna untuk memberantas penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Bahkan UNDP dan Unesco tertarik dengan penemuan Moazami sampai mendirikan pabrik percontohan pada tahun 1990. Kini pabrik itu telah berproduksi dengan kapasitas sebesar 100 metrik ton/tahun. Turis wanita ke ruang angkasa yang pertama pun adalah seorang wanita Iran. Dengan menaiki pesawat ruang angkasa Rusia, Soyuz, Anoushah Ansari (40), pengusaha telekomunikasi AS keturunan Iran, memecahkan tiga rekor sejarah ruang angkasa sekaligus, yakni sebagai wanita turis ruang angkasa, wanita muslim, dan wanita Iran pertama di angkasa luar. Hebat kan, wanita Iran! Tapi kenapa dengan prestasi secemerlang itu, masih saja ada hak-haknya yang dibatasi.
Lain Iran, lain lagi Myanmar. Dihimpit kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah, banyak gadis Myanmar yang menjual diri di kota Jiegao, Tiongkok yang berbatasan dengan Myanmar. Mereka melakukan semua ini semata-mata demi meningkatkan perekonomian keluarga. Banyak juga wanita Myanmar yang mengungsi sampai ke Bangladesh untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang lebih layak walaupun di Bangladesh sendiri mereka dikategorikan sebagai imigran gelap.
Di Kamboja, wanita seringkali mengalami diskriminasi di tempat kerja atau di rumah, seperti tidak mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang sama seperti kaum pria sampai menjadi korban perdagangan manusia dan kekerasan dalam rumah tangga. Saking banyaknya wanita yang mengalami penindasan di Kamboja, sampai-sampai ada suatu program nasional yang bernama Neary Ratanak untuk mempromosikan kesetaraan gender. Program itu berupaya untuk merubah peribahasa Kamboja yang menyebutkan “Pria adalah emas sedangkan perempuan adalah kain putih. Setelah kain itu dinodai, maka akan ternoda untuk selamanya. Peribahasa itu saat ini mencoba dirubah menjadi “Pria adalah emas. perempuan adalah permata berharga. Diharapkan perubahan seperti ini dapat sedikitnya mengubah cara pandang masyarakat Kamboja terhadap wanita.
Berbicara tentang penindasan terhadap wanita tentu kurang lengkap tanpa membicarakan penderitaan wanita India. Di India, kedudukan laki-laki sangat jauh di atas wanita. Sampai detik ini pun masih bisa dijumpai keluarga India yang mengagung-agungkan anak prianya. Dalam memberikan makanan saja, masih banyak orangtua yang mendahulukan anak prianya. Anak wanita seringkali hanya mendapat sisa. Dalam keadaan sakit maupun hamil, wanita harus tetap bekerja membantu keluarga. Fisik mereka pun menjadi lemah karena kurang istirahat dan tidak mendapat gizi yang cukup.
Memiliki banyak anak perempuan bukannya dianggap sebagai suatu anugerah melainkan suatu bencana. Terlebih lagi karena ketika menikahkan anak perempuan pihak keluarga perempuan harus memberi mahar atau mas kawin kepada keluarga pihak laki-laki. Banyak terjadi kasus ”pembakaran pengantin wanita” karena suaminya tidak puas dengan jumlah mas kawin yang diberikan. Suami-suami yang tamak ini lalu berbohong dengan mengatakan pada publik bahwa istrinya meninggal dalam suatu kecelakaan ketika memasak. (Crossete 1989; Sakar 1993; Sharma 1983). Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terutama di India utara (Miller 1992). Di India hingga saat ini tercatat 6.000 kasus bunuh diri tiap tahunnya yang dilakukan oleh istri dan anak wanita yang tertekan. Hal ini sungguh ironis mengingat sejak 35 tahun yang lalu sudah ada badan khusus di India yang menangani permasalahan seperti ini. Tapi pada kenyataannya, badan ini seperti tidak memiliki arti apapun.
Sementara itu, di negara kita tercinta sendiri, masih banyak wanita yang diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Contohnya, masih banyak orang tua yang mengesampingkan pendidikan khususnya untuk anak perempuan. Seperti statement yang banyak beredar di masyarakat seperti berikut ini; ”Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau akhirnya hanya berakhir di dapur.” Tidakkah pernyataan ini menyakitkan bagi anda, wahai kaum wanita..? Jadi sekolah yang tinggi hanya untuk kaum pria? Apanya yang adil? Apanya yang setara?
Belum lagi kasus poligami, dimana poligami sering dianggap sah2 saja sedang poliandri dianggap penyimpangan. Kenapa pria boleh saja memiliki lebih dari satu istri sedang wanita tidak boleh memiliki lebih dari satu suami?
Ada juga anggapan bahwa pria yang pulang dari bekerja tidak diharuskan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, seorang wanita yang bekerja, tetap diwajibkan untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Kalau memang suami dan istri sama-sama bekerja untuk mendukung finansial keluarga, kenapa pekerjaan rumah tangga pun tidak dilaksanakan bersama-sama?
Saya bukan bicara tentang girl power dimana wanita seolah menuntut posisi yang lebih tinggi dari pria. Bukan. Sama sekali bukan itu yang saya bicarakan. Tapi kapan sih, posisi wanita di Indonesia, bahkan di seluruh belahan dunia, benar-benar SETARA dengan pria? 10 tahun lagi? 20 tahun lagi? Atau sampai dunia kiamat?





The beauty of a woman is not in the clothes she wears, The figure she carries, or the way she combs her hairs. The beauty of a woman must be seen from her eyes. Because that is the doorway to her heart, The place where love resides. The beauty of a woman is not the facial mole, But true beauty in a woman is reflected in her soul.

Va dove ti porta il cuore.. (Pergilah ke mana hati membawamu)

‘Dan kelak, di saat begitu banyak jalan

terbentang di hadapanmu

dan kau tak tahu jalan mana yang harus

kau ambil, janganlah memilihnya dengan

asal saja, tetapi duduklah dan

tunggulah sesaat. Tariklah napas

dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan.

Seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini.

Jangan biarkan apa pun mengalihkan

perhatianmu, tunggulah dan tunggulah

lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening,

dan dengarkanlah hatimu.

Lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah,

dan pergilah kemana hati membawamu’

(Sussana Tamaro)